03 Februari 2008

Kucing Garong Berdarah Biru

Di asrama, ada kucing angora bernama Whisky. Kata orang Whisky itu kependekan dari “Whiskers”, karena kumis kucingnya memang panjang dan lentik-lentik (lucu gitu). Ada juga yang bilang, itu pelesetan dari Whiskas, nama merek makanan kucing.

Whisky itu kucing angora berwarna hitam, dengan bulu perut berwarna putih. Jadi, Whisky bukan kucing penyihir, ya. Katanya kalau kucing penyihir, harus yang berwarna hitam legam dan bulunya pendek terawat (nggak gondrong kayak kucing angora atau persia).

Kata satpam asrama yang udah lama kerja di sana, Whisky itu udah tua. Umurnya dah uzur gitu deh… makanya nggak heran kalau gelagatnya itu mirip seperti makhluk yang sudah tua. Kerjaan sehari-harinya itu jilat-jilat bulu (makanya jadi bagus dan mengkilap), berjemur (kala hari cerah), makan, dan ngariung di pinggir pemanas ruangan (kala hari dingin). Pokoknya, hidupnya itu benar-benar cuek dan benar-benar minim aktivitas yang heboh. Whisky paling males kalo disuruh ngejar mainan, paling emoh kalo disuruh jalan jauh-jauh, walaupun sudah diiming-imingi makanan yang maha-banyak.

Beda dengan kawan seperjuangannya. Ini Tom. Dulu namanya Vodka. Jelas yang dulu pertama ngasih nama lagi teler. Entah kenapa sejarahnya namanya berubah dari Vodka jadi Tom.

ini Tom

Tom ini jenis kucing cowok berdarah preman. Salah satu hobinya adalah bertengkar dan berantem dengan hewan lain — anjing, kucing, tikus, burung, uler, semuanya dijabanin. Sering banget si Tom terlihat pipincangan menyebrangi kebon asrama, dengan bulu kaki pitak, sebagai tanda bulunya baru dicukur oleh dokter hewan supaya lukanya bisa dibersihkan dan dijahit. Foto yang di atas itu ya foto si Tom sehari setelah kunjungannya ke dokter hewan, untuk buka jahitan. Makanya bulu di salah satu kakinya tampak agak tipis dan beda warna dibandingkan bulu lainnya. Mungkin ini gara-gara si Tom kebanyakan ngehayal jadi harimau. Lorengnya udah mirip, mukanya juga lumayan lebar.

Walaupun nakal, si Tom ini juga manjanya nggak ketulungan. Standar kucing manja, ke sonoannya lagi. Misalnya aja, dia nggak mau tuh — atau jarang mau makan — makanan khusus kucing (walaupun sebenernya itu makanan kucing sama atau lebih mahal daripada makanan manusia). Kecuali mungkin kalau kepepet banget kali, ya. Tapi, ga pernah ngeliat Tom kepepet sampe harus makan makanan yang di bawah standar dia. Maklum sebagai kucing asrama, efektif majikannya ada ratusan. Masa’ sih satu aja nggak ada yang mau ngasih makan?

Dulu, ada temen asrama yang jadi majikan favoritnya si Tom. Gimana nggak, si Tom bener-bener diperlakukan kayak raja. Dikasih makan ham, dikasih minum susu murni yang bener-bener seger (masih lebih segeran susu yang langsung dari sapinya, sih. Tapi di asrama ga ada yang miara sapi. Udah nyari, tetep ga ada). Si Tom nggak mau makanan sisa. Makanya, temenku sebelom makan itu selalu nyendokin jatah si Tom. Pokoknya dari segi gizi, bisa jadi gizi tuh kucing lebih bagus daripada gizi anak-anak asrama pada umumnya. Daging segar, sayur segar, dan sesuai dengan anjuran gizi khusus hewan (ada temenku yang lain yang dokter hewan).

Nggak cuma gizi makanannya doang yang diperhatiin, tapi si Tom ini bener-bener disayang sama temenku yang satu itu — bulu-bulunya disikat, dikasih bedak anti-kutu, dikelonin, diajak maen, diajak ngobrol, pokoknya dimanja banget.

Suatu hari, temenku pulang ke negaranya dan ga balik lagi (udah lulus kuliah ceritanya). Si Tom yang nggak tau kalo temenku udah pulang (karena nggak sempet pamitan), dengan memelasnya nungguin di depan kamar temenku itu. Sejam… dua jam… tiga jam… sampe si Tom terngantuk-ngantuk. Akhirnya, ketika hari mulai malam, si Tom kayaknya mulai sadar kalo “majikan”nya ini nggak akan balik lagi.

Besoknya si Tom udah nggak berkunjung lagi ke tempat kita. “Mungkin udah nemu majikan baru lagi kali…” kata temenku itu lewat telepon ketika aku cerita tentang tingkah polah si Tom sepeninggalannya. “Namanya juga kucing,” katanya, “…kesetiannya cuman sebates perut.” Bener aja, keesokan harinya aku ngeliat si Tom lagi nguntit anak dari asrama sebelah.

Tapi aku yakin, belom ada yang bisa ngasih perhatian ke si Tom seperti yang diberikan sama temenku itu. Soalnya, seringkali keliatan si Tom ngeronda di depan kamar temenku itu, dan kaget kalo ngeliat orang yang keluar dari kamar itu udah beda.

Kisah Kucing yang Pergi ke Mekah

Penulis: Muhammad Ja'far, Peneliti Pustaka LP3ES, Jakarta

Perhelatan ritual keislaman tahunan terbesar, ibadah haji, akan tiba. Hal itu ditandai berangkatnya rombongan jemaah haji Indonesia. Secara faktual, di samping salah satu implementasi ritual keislaman, pelaksanaan ibadah haji merupakan momentum strategis bagi berlangsungnya proses transformasi budaya antarmuslimin dari berbagai negeri.

Tanah Arafah, secara tidak langsung, menjadi ajang berlangsungnya transfer kebudayaan dan tukar-menukar tradisi. Karena itu, tatkala pulang ke negeri masing-masing, bukan hanya gelar sebagai 'haji' yang dipanggul, tapi juga oleh-oleh kebudayaan yang kemudian mengalami pergumulan dengan budaya dan tradisi setempat sehingga membentuk sebuah wajah budaya atau tradisi keislaman baru. Dalam konteks ini, Mekah menjadi pusat terjadinya jual beli atau tukar-menukar kebudayaan.

Fabel konon merupakan salah satu buah varian (produk) budaya yang sering ditransformasikan pada momentum pelaksanaan ibadah haji. Fabel adalah cerita fiktif dengan binatang sebagai karakter tokohnya. Fabel biasanya mengandung sebuah pesan yang hendak disampaikan pada para pembaca atau pendengarnya. Baik melalui jalan ceritanya maupun karakteristik setiap tokoh. Setiap negara memiliki cerita fabel yang berbeda dan merepresentasikan karakteristik tekstur sosial-kulturalnya khasnya. Pada momentum pelaksanaan ibadah haji, fabel merupakan salah satu produk budaya yang saling dipertukarkan. Setelah dibawa pulang, fabel tersebut kemudian mengalami proses 'lokalisasi' sesuai dengan kultur dan konteks sosial setempat. Namun, dengan substansi pesan dan hikmah (muatan nilai) yang biasanya relatif sama, tidak mengherankan jika terdapat sebuah fabel dari dua negara berbeda dan memiliki substansi cerita yang sama, namun alur dan penokohannya berbeda.

Ada sebuah fabel yang substansinya berkenaan dengan ibadah haji. Fabel tersebut berjudul Kucing yang Pergi ke Mekah. Walaupun fabel itu diduga berasal dari Suriah, konon, muatan ceritanya mungkin terinspirasi dari dua fabel yang berasal dari negeri non-Arab yang berjudul Kalila wa Dimna yang merupakan terjemahan dari sebuah cerita versi Pahlevi yang berbahasa Sansekerta berjudul Pachatantra dan fabel Fables of Bidpai (Inea Bushnaq: 2003). Saya tidak dapat memastikan proses transformasi fabel tersebut terjadi pada ajang pelaksanaan ibadah haji. Tapi ada kemungkinan demikian jika merujuk pada substansi kisahnya.

Fabel Kisah Kucing yang Pergi ke Mekah itu mengandung pesan yang cukup reflektif tentang makna pelaksanaan ibadah haji. Cerita fabel tersebut, dahulu kala, ada raja kucing yang baru pulang dari berziarah (baca: haji) ke Mekah. Sebagai bentuk penghormatan kepada setiap penziarah, raja tikus merasa berkewajiban menjenguk dan memberikan ucapan selamat. Niat itu disampaikan raja tikus kepada rakyatnya. Namun ditolak dengan alasan bahwa kucing jahat sehingga pasti akan memangsa mereka. Dengan bijak dan penuh kearifan, raja tikus menjelaskan setelah menjadi seorang 'haji' (penziarah), raja kucing tentulah berubah tabiatnya. Ia tidak lagi seperti dulu, bengis dan rakus. Bahkan, jelas raja tikus, konon kini raja kucing selalu menghabiskan waktunya untuk bersembahyang dan berzikir. Ia telah insaf dan bertobat. Karena itu, wajiblah bagi mereka untuk menyambung tali silaturahim, demikian argumentasi raja tikus pada rakyatnya. Namun, sang rakyat tikus tetap tak teryakinkan.

Akhirnya, raja tikus memutuskan untuk pergi seorang diri mengunjungi raja kucing yang kini telah memanggul gelar 'haji' tersebut. Sesampainya di tujuan, tampak raja kucing sedang khusyuk berdoa dan berzikir. Saat melihat pemandangan itu, raja tikus semakin yakin perjalanan spiritual ziarah menuju Mekah ('haji') benar-benar telah mencuci karakter lama sang raja kucing menjadi sosok yang sepenuhnya baru. Maka, mendekatlah raja tikus menjulurkan tangannya pada raja kucing, bermaksud menghaturkan kata selamat dan pujian. Tapi, betapa kagetnya si raja tikus ketika tiba-tiba raja kucing ternyata menjulurkan cakarnya secepat kilat dan sekuat perisai berupaya menangkap raja tikus. Untung, luput!! Dan sekejap mata, raja tikus melarikan diri, terbirit-birit menuju sarangnya, kembali pada rakyatnya. Sesampainya di kerajaannya, rakyat tikus yang berdebar menunggu kabar, bertanya kepada sang raja perihal hasil pertemuannya dengan raja kucing. Dengan terengah-engah, raja tikus berujar, "Lupakan ibadah hajinya! Mungkin benar ia berubah layaknya seorang 'haji', namun, tetap saja ia menerkam seperti sebelumnya." (Hal 174)

Dua tokoh binatang itu memang dikenal memiliki sejarah permusuhan abadi. Fabel tersebut sarat akan pesan moral dan memuat makna etik yang mendalam tentang arti substansial ibadah haji. Itu semacam oleh-oleh kebudayaan dari pelaksanaan ibadah haji. Fabel tersebut hendak berpesan bahwa di balik tatanan ritualnya, ibadah haji menyimpan pesan dan makna mendalam tentang nilai-nilai sosial-etik, toleransi, keadilan sosial, persamaan hak dan martabat, serta solidaritas global. Secara umum, ibadah haji meneguhkan konsep etis-moril tentang keharusan penyeimbangan pemenuhan hak dan kewajiban setiap individu pada aras sosial. Karena itu, setelah menunaikan ibadah itu, si haji diharapkan tampil sebagai sosok muslim dengan karakter yang sepenuhnya baru dalam melihat dan merespons realitas sosial.

Namun, fakta di lapangan kerap menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Sepulang dari berziarah (haji), perangai, responsilitas dan sensitivitas sosial seorang muslim tetap pada derajat yang memprihatinkan. Bahkan, ironisnya, pelaksanaan ibadah haji sekadar dijadikan ritual simbolik tanpa makna, ajang gengsi sosial, atau malah dijadikan sebagai kedok untuk mengompensasi atau menutupi perilaku sosialnya yang manipulatif (misalnya korupsi). Paradoks, bukan? Tapi itu fakta, bukan fabel!

Apa penyebab semua ini? Adakah ekspektasi kita terlalu berlebihan terhadap efektivitas fungsi sebuah ibadah (haji) dalam mengubah karakter sosial seorang penganut muslim? Toh, secara gramatika, arti kata 'haji' itu sendiri tak lebih dari sekedar 'penziarah'. Tapi, bukankah memang demikian yang selalu diklaim agama Islam bahwa ibadah haji menempati posisi yang demikian penting dan krusial. Secara hukum, ditetapkan, label 'wajib' bagi yang 'mampu'. Lalu, kira-kira di mana letak kesalahannya? Pemahaman kita tentang konsep ibadah itu sendiri atau bahwa sebenarnya konsep tentang ibadah itu sendiri perlu dikaji ulang pada beberapa sisinya? Dengan kata lain, efektivitas fungsi sebuah ibadah akan tetap dapat dipertahankan dalam lintasan zaman jika dibarengi dengan upaya transformasi. Bukan saja pada tataran pemaknaan (substansi), namun juga menyangkut sisi 'artifisialnya' itu sendiri. Apa yang salah dengan ibadah haji (yang kita lakukan)?

Entahlah, yang jelas, fungsi sebuah fabel adalah sebagai media pembelajaran (hikmah). Termasuk fabel Kucing yang Pergi ke Mekah. Agar seorang yang nantinya setelah pulang dari Mekah memanggul gelar 'haji' benar-benar memancarkan karakter seorang penziarah. Tapi, bagaimana seseorang dapat belajar dari binatang jika perilakunya tidak berbeda? Semoga kita bukanlah 'kucing-kucing' yang pergi ke haji. Amin!

Cerita Kucing Vegetarian

Diceritakan oleh Taipei, Formosa


Dapatkah seekor kucing menjadi vegetarian? Kebanyakan dokter hewan akan berkata, "Tidak mungkin. Saya tidak pernah mendengar hal seperti itu. Bagi kucing, lebih baik mati dari pada menjadi vegetarian!" Tetapi Saudari Liu punya seekor kucing yang sangat luar biasa, bernama "Bighead (si Kepala Besar)" yang sangat ketat bervegetarian, menolak untuk menyentuh makanan apa saja yang berbau daging, bahkan juga "daging" vegetarian. Di bawah ini adalah cerita yang menarik dari kucing yang luar biasa ini. Tuhan pasti telah mengatur agar saudari Liu bertemu dengan Bighead. Setelah diinisiasi, saudari Liu tidak memelihara binatang sebab dia harus bervegetarian dan tidak suka akan bau binatang. Kemudian pada suatu hari, dia pindah ke rumah yang baru. Setelah memindahkan barang-barang, dia menemukan seekor kucing liar yang badannya kecil dan kurus kering di tangga apartemennya, dan untuk beberapa hari dia memberikan susu dan biskuit pada kucing itu. Saudari Liu mengajar Bahasa Inggris di rumah, dan suatu hari sebelum kelas dimulai, kucing itu mengikuti muridnya masuk ke dalam apartemennya. Tetapi, saudari Liu yang selalu menjaga kebersihan rumahnya, tidak mau memelihara binatang itu dan mengeluarkannya. Pada malam itu, beberapa saudara sepelatihan datang ke rumah saudari Liu untuk meditasi kelompok, dan seorang dari mereka mengusulkan agar saudari Liu memelihara kucing yang tak berdaya itu. Pada hari berikutnya, ketika saudari Liu melihat kucing itu di tangga, dia membuka pintu dan berkata pada si kucing, "Jika kamu ingin tinggal bersama saya, kamu harus menjadi vegetarian seperti saya." Kemudian saudari Liu mulai menghitung dari satu sampai sepuluh dan dia memutuskan akan menutup pintu jika si kucing kecil itu tidak masuk ke dalam rumah sebelum dia selesai menghitung. Tetapi ketika dia menghitung sampai delapan, si kucing dengan perlahan berjalan masuk dan mulai saat itu menjadi anggota keluarga saudari Liu. Apa yang sebenarnya dimakan oleh Bighead? Saya yakin semuanya ingin tahu tentang itu! Bighead makan ketimun, tunas alfalfa, pepaya, buah kesemak, apel, pir, seledri, kubis, tomat, serat daging vegetarian, biskuit, dan bahkan pothos rebus (potted golden pothos). Dia terutama sangat suka akan ketimun, tunas alfalfa dan makanan asam manis. Bahkan sekarang dia mendapat hal-hal baru dalam daftar makanannya! Hal lain yang menarik dari kucing ini adalah dia memilih makanan yang ringan. Dia menolak makanan vegetarian yang menyerupai daging. Luar biasa! Kita tahu bahwa kucing tidak punya gigi geraham, lalu bagaimana Bighead mengunyah makanan? Saudari Liu mengunyah makanan itu duluan dan kemudian menempatkan sepotong kecil, yang tidak lebih besar dari kacang ijo, di telapak tangannya dan memberi makan pada si kucing. Setiap kali makan akan menghabiskan waktu sekitar satu jam. Pada permulaan, Bighead belum dapat mengontrol rahangnya dengan baik dan giginya menggarut jari saudari Liu, tetapi sekarang kucing pandai itu telah belajar bagaimana menjilat makanan tanpa melukai majikannya. Dari sini kita tahu kalau binatang pun punya perasaaan dan sangat berpengertian. Ketika Saudari Liu membawa Bighead ke dokter hewan untuk pertama kalinya, kucing itu mengambil sikap bertahan dan galak. Setelah tiga kali berkunjung, kucing itu menjadi jinak, tenang dan sangat bekerja sama. Pada mulanya dokter hewan itu tidak percaya kalau kucing pun dapat menjadi vegetarian. Di bawah pemeliharaan yang teliti, kucing tak berbulu ini mulai mempunyai bulu lagi dan karena berdiet vegetarian, dia tidak berbau seperti halnya binatang lainnya.

02 Februari 2008

Sayang Kucing...


Iiiih,,, lucunya...

STOP...!!! yang lucu yang mana nih ???

Ya kucingnya donk... imut kan ...
. . . . . . . . Selamat datang dan terima kasih anda sudah mau berkunjung di blog Caties_maniz . . . . . . . .
Web Hosting