Penulis: Muhammad Ja'far, Peneliti Pustaka LP3ES, Jakarta
Perhelatan ritual keislaman tahunan terbesar, ibadah haji, akan tiba. Hal itu ditandai berangkatnya rombongan jemaah haji Indonesia. Secara faktual, di samping salah satu implementasi ritual keislaman, pelaksanaan ibadah haji merupakan momentum strategis bagi berlangsungnya proses transformasi budaya antarmuslimin dari berbagai negeri.
Tanah Arafah, secara tidak langsung, menjadi ajang berlangsungnya transfer kebudayaan dan tukar-menukar tradisi. Karena itu, tatkala pulang ke negeri masing-masing, bukan hanya gelar sebagai 'haji' yang dipanggul, tapi juga oleh-oleh kebudayaan yang kemudian mengalami pergumulan dengan budaya dan tradisi setempat sehingga membentuk sebuah wajah budaya atau tradisi keislaman baru. Dalam konteks ini, Mekah menjadi pusat terjadinya jual beli atau tukar-menukar kebudayaan.
Fabel konon merupakan salah satu buah varian (produk) budaya yang sering ditransformasikan pada momentum pelaksanaan ibadah haji. Fabel adalah cerita fiktif dengan binatang sebagai karakter tokohnya. Fabel biasanya mengandung sebuah pesan yang hendak disampaikan pada para pembaca atau pendengarnya. Baik melalui jalan ceritanya maupun karakteristik setiap tokoh. Setiap negara memiliki cerita fabel yang berbeda dan merepresentasikan karakteristik tekstur sosial-kulturalnya khasnya. Pada momentum pelaksanaan ibadah haji, fabel merupakan salah satu produk budaya yang saling dipertukarkan. Setelah dibawa pulang, fabel tersebut kemudian mengalami proses 'lokalisasi' sesuai dengan kultur dan konteks sosial setempat. Namun, dengan substansi pesan dan hikmah (muatan nilai) yang biasanya relatif sama, tidak mengherankan jika terdapat sebuah fabel dari dua negara berbeda dan memiliki substansi cerita yang sama, namun alur dan penokohannya berbeda.
Ada sebuah fabel yang substansinya berkenaan dengan ibadah haji. Fabel tersebut berjudul Kucing yang Pergi ke Mekah. Walaupun fabel itu diduga berasal dari Suriah, konon, muatan ceritanya mungkin terinspirasi dari dua fabel yang berasal dari negeri non-Arab yang berjudul Kalila wa Dimna yang merupakan terjemahan dari sebuah cerita versi Pahlevi yang berbahasa Sansekerta berjudul Pachatantra dan fabel Fables of Bidpai (Inea Bushnaq: 2003). Saya tidak dapat memastikan proses transformasi fabel tersebut terjadi pada ajang pelaksanaan ibadah haji. Tapi ada kemungkinan demikian jika merujuk pada substansi kisahnya.
Fabel Kisah Kucing yang Pergi ke Mekah itu mengandung pesan yang cukup reflektif tentang makna pelaksanaan ibadah haji. Cerita fabel tersebut, dahulu kala, ada raja kucing yang baru pulang dari berziarah (baca: haji) ke Mekah. Sebagai bentuk penghormatan kepada setiap penziarah, raja tikus merasa berkewajiban menjenguk dan memberikan ucapan selamat. Niat itu disampaikan raja tikus kepada rakyatnya. Namun ditolak dengan alasan bahwa kucing jahat sehingga pasti akan memangsa mereka. Dengan bijak dan penuh kearifan, raja tikus menjelaskan setelah menjadi seorang 'haji' (penziarah), raja kucing tentulah berubah tabiatnya. Ia tidak lagi seperti dulu, bengis dan rakus. Bahkan, jelas raja tikus, konon kini raja kucing selalu menghabiskan waktunya untuk bersembahyang dan berzikir. Ia telah insaf dan bertobat. Karena itu, wajiblah bagi mereka untuk menyambung tali silaturahim, demikian argumentasi raja tikus pada rakyatnya. Namun, sang rakyat tikus tetap tak teryakinkan.
Akhirnya, raja tikus memutuskan untuk pergi seorang diri mengunjungi raja kucing yang kini telah memanggul gelar 'haji' tersebut. Sesampainya di tujuan, tampak raja kucing sedang khusyuk berdoa dan berzikir. Saat melihat pemandangan itu, raja tikus semakin yakin perjalanan spiritual ziarah menuju Mekah ('haji') benar-benar telah mencuci karakter lama sang raja kucing menjadi sosok yang sepenuhnya baru. Maka, mendekatlah raja tikus menjulurkan tangannya pada raja kucing, bermaksud menghaturkan kata selamat dan pujian. Tapi, betapa kagetnya si raja tikus ketika tiba-tiba raja kucing ternyata menjulurkan cakarnya secepat kilat dan sekuat perisai berupaya menangkap raja tikus. Untung, luput!! Dan sekejap mata, raja tikus melarikan diri, terbirit-birit menuju sarangnya, kembali pada rakyatnya. Sesampainya di kerajaannya, rakyat tikus yang berdebar menunggu kabar, bertanya kepada sang raja perihal hasil pertemuannya dengan raja kucing. Dengan terengah-engah, raja tikus berujar, "Lupakan ibadah hajinya! Mungkin benar ia berubah layaknya seorang 'haji', namun, tetap saja ia menerkam seperti sebelumnya." (Hal 174)
Dua tokoh binatang itu memang dikenal memiliki sejarah permusuhan abadi. Fabel tersebut sarat akan pesan moral dan memuat makna etik yang mendalam tentang arti substansial ibadah haji. Itu semacam oleh-oleh kebudayaan dari pelaksanaan ibadah haji. Fabel tersebut hendak berpesan bahwa di balik tatanan ritualnya, ibadah haji menyimpan pesan dan makna mendalam tentang nilai-nilai sosial-etik, toleransi, keadilan sosial, persamaan hak dan martabat, serta solidaritas global. Secara umum, ibadah haji meneguhkan konsep etis-moril tentang keharusan penyeimbangan pemenuhan hak dan kewajiban setiap individu pada aras sosial. Karena itu, setelah menunaikan ibadah itu, si haji diharapkan tampil sebagai sosok muslim dengan karakter yang sepenuhnya baru dalam melihat dan merespons realitas sosial.
Namun, fakta di lapangan kerap menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Sepulang dari berziarah (haji), perangai, responsilitas dan sensitivitas sosial seorang muslim tetap pada derajat yang memprihatinkan. Bahkan, ironisnya, pelaksanaan ibadah haji sekadar dijadikan ritual simbolik tanpa makna, ajang gengsi sosial, atau malah dijadikan sebagai kedok untuk mengompensasi atau menutupi perilaku sosialnya yang manipulatif (misalnya korupsi). Paradoks, bukan? Tapi itu fakta, bukan fabel!
Apa penyebab semua ini? Adakah ekspektasi kita terlalu berlebihan terhadap efektivitas fungsi sebuah ibadah (haji) dalam mengubah karakter sosial seorang penganut muslim? Toh, secara gramatika, arti kata 'haji' itu sendiri tak lebih dari sekedar 'penziarah'. Tapi, bukankah memang demikian yang selalu diklaim agama Islam bahwa ibadah haji menempati posisi yang demikian penting dan krusial. Secara hukum, ditetapkan, label 'wajib' bagi yang 'mampu'. Lalu, kira-kira di mana letak kesalahannya? Pemahaman kita tentang konsep ibadah itu sendiri atau bahwa sebenarnya konsep tentang ibadah itu sendiri perlu dikaji ulang pada beberapa sisinya? Dengan kata lain, efektivitas fungsi sebuah ibadah akan tetap dapat dipertahankan dalam lintasan zaman jika dibarengi dengan upaya transformasi. Bukan saja pada tataran pemaknaan (substansi), namun juga menyangkut sisi 'artifisialnya' itu sendiri. Apa yang salah dengan ibadah haji (yang kita lakukan)?
Entahlah, yang jelas, fungsi sebuah fabel adalah sebagai media pembelajaran (hikmah). Termasuk fabel Kucing yang Pergi ke Mekah. Agar seorang yang nantinya setelah pulang dari Mekah memanggul gelar 'haji' benar-benar memancarkan karakter seorang penziarah. Tapi, bagaimana seseorang dapat belajar dari binatang jika perilakunya tidak berbeda? Semoga kita bukanlah 'kucing-kucing' yang pergi ke haji. Amin!
Perhelatan ritual keislaman tahunan terbesar, ibadah haji, akan tiba. Hal itu ditandai berangkatnya rombongan jemaah haji Indonesia. Secara faktual, di samping salah satu implementasi ritual keislaman, pelaksanaan ibadah haji merupakan momentum strategis bagi berlangsungnya proses transformasi budaya antarmuslimin dari berbagai negeri.
Tanah Arafah, secara tidak langsung, menjadi ajang berlangsungnya transfer kebudayaan dan tukar-menukar tradisi. Karena itu, tatkala pulang ke negeri masing-masing, bukan hanya gelar sebagai 'haji' yang dipanggul, tapi juga oleh-oleh kebudayaan yang kemudian mengalami pergumulan dengan budaya dan tradisi setempat sehingga membentuk sebuah wajah budaya atau tradisi keislaman baru. Dalam konteks ini, Mekah menjadi pusat terjadinya jual beli atau tukar-menukar kebudayaan.
Fabel konon merupakan salah satu buah varian (produk) budaya yang sering ditransformasikan pada momentum pelaksanaan ibadah haji. Fabel adalah cerita fiktif dengan binatang sebagai karakter tokohnya. Fabel biasanya mengandung sebuah pesan yang hendak disampaikan pada para pembaca atau pendengarnya. Baik melalui jalan ceritanya maupun karakteristik setiap tokoh. Setiap negara memiliki cerita fabel yang berbeda dan merepresentasikan karakteristik tekstur sosial-kulturalnya khasnya. Pada momentum pelaksanaan ibadah haji, fabel merupakan salah satu produk budaya yang saling dipertukarkan. Setelah dibawa pulang, fabel tersebut kemudian mengalami proses 'lokalisasi' sesuai dengan kultur dan konteks sosial setempat. Namun, dengan substansi pesan dan hikmah (muatan nilai) yang biasanya relatif sama, tidak mengherankan jika terdapat sebuah fabel dari dua negara berbeda dan memiliki substansi cerita yang sama, namun alur dan penokohannya berbeda.
Ada sebuah fabel yang substansinya berkenaan dengan ibadah haji. Fabel tersebut berjudul Kucing yang Pergi ke Mekah. Walaupun fabel itu diduga berasal dari Suriah, konon, muatan ceritanya mungkin terinspirasi dari dua fabel yang berasal dari negeri non-Arab yang berjudul Kalila wa Dimna yang merupakan terjemahan dari sebuah cerita versi Pahlevi yang berbahasa Sansekerta berjudul Pachatantra dan fabel Fables of Bidpai (Inea Bushnaq: 2003). Saya tidak dapat memastikan proses transformasi fabel tersebut terjadi pada ajang pelaksanaan ibadah haji. Tapi ada kemungkinan demikian jika merujuk pada substansi kisahnya.
Fabel Kisah Kucing yang Pergi ke Mekah itu mengandung pesan yang cukup reflektif tentang makna pelaksanaan ibadah haji. Cerita fabel tersebut, dahulu kala, ada raja kucing yang baru pulang dari berziarah (baca: haji) ke Mekah. Sebagai bentuk penghormatan kepada setiap penziarah, raja tikus merasa berkewajiban menjenguk dan memberikan ucapan selamat. Niat itu disampaikan raja tikus kepada rakyatnya. Namun ditolak dengan alasan bahwa kucing jahat sehingga pasti akan memangsa mereka. Dengan bijak dan penuh kearifan, raja tikus menjelaskan setelah menjadi seorang 'haji' (penziarah), raja kucing tentulah berubah tabiatnya. Ia tidak lagi seperti dulu, bengis dan rakus. Bahkan, jelas raja tikus, konon kini raja kucing selalu menghabiskan waktunya untuk bersembahyang dan berzikir. Ia telah insaf dan bertobat. Karena itu, wajiblah bagi mereka untuk menyambung tali silaturahim, demikian argumentasi raja tikus pada rakyatnya. Namun, sang rakyat tikus tetap tak teryakinkan.
Akhirnya, raja tikus memutuskan untuk pergi seorang diri mengunjungi raja kucing yang kini telah memanggul gelar 'haji' tersebut. Sesampainya di tujuan, tampak raja kucing sedang khusyuk berdoa dan berzikir. Saat melihat pemandangan itu, raja tikus semakin yakin perjalanan spiritual ziarah menuju Mekah ('haji') benar-benar telah mencuci karakter lama sang raja kucing menjadi sosok yang sepenuhnya baru. Maka, mendekatlah raja tikus menjulurkan tangannya pada raja kucing, bermaksud menghaturkan kata selamat dan pujian. Tapi, betapa kagetnya si raja tikus ketika tiba-tiba raja kucing ternyata menjulurkan cakarnya secepat kilat dan sekuat perisai berupaya menangkap raja tikus. Untung, luput!! Dan sekejap mata, raja tikus melarikan diri, terbirit-birit menuju sarangnya, kembali pada rakyatnya. Sesampainya di kerajaannya, rakyat tikus yang berdebar menunggu kabar, bertanya kepada sang raja perihal hasil pertemuannya dengan raja kucing. Dengan terengah-engah, raja tikus berujar, "Lupakan ibadah hajinya! Mungkin benar ia berubah layaknya seorang 'haji', namun, tetap saja ia menerkam seperti sebelumnya." (Hal 174)
Dua tokoh binatang itu memang dikenal memiliki sejarah permusuhan abadi. Fabel tersebut sarat akan pesan moral dan memuat makna etik yang mendalam tentang arti substansial ibadah haji. Itu semacam oleh-oleh kebudayaan dari pelaksanaan ibadah haji. Fabel tersebut hendak berpesan bahwa di balik tatanan ritualnya, ibadah haji menyimpan pesan dan makna mendalam tentang nilai-nilai sosial-etik, toleransi, keadilan sosial, persamaan hak dan martabat, serta solidaritas global. Secara umum, ibadah haji meneguhkan konsep etis-moril tentang keharusan penyeimbangan pemenuhan hak dan kewajiban setiap individu pada aras sosial. Karena itu, setelah menunaikan ibadah itu, si haji diharapkan tampil sebagai sosok muslim dengan karakter yang sepenuhnya baru dalam melihat dan merespons realitas sosial.
Namun, fakta di lapangan kerap menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Sepulang dari berziarah (haji), perangai, responsilitas dan sensitivitas sosial seorang muslim tetap pada derajat yang memprihatinkan. Bahkan, ironisnya, pelaksanaan ibadah haji sekadar dijadikan ritual simbolik tanpa makna, ajang gengsi sosial, atau malah dijadikan sebagai kedok untuk mengompensasi atau menutupi perilaku sosialnya yang manipulatif (misalnya korupsi). Paradoks, bukan? Tapi itu fakta, bukan fabel!
Apa penyebab semua ini? Adakah ekspektasi kita terlalu berlebihan terhadap efektivitas fungsi sebuah ibadah (haji) dalam mengubah karakter sosial seorang penganut muslim? Toh, secara gramatika, arti kata 'haji' itu sendiri tak lebih dari sekedar 'penziarah'. Tapi, bukankah memang demikian yang selalu diklaim agama Islam bahwa ibadah haji menempati posisi yang demikian penting dan krusial. Secara hukum, ditetapkan, label 'wajib' bagi yang 'mampu'. Lalu, kira-kira di mana letak kesalahannya? Pemahaman kita tentang konsep ibadah itu sendiri atau bahwa sebenarnya konsep tentang ibadah itu sendiri perlu dikaji ulang pada beberapa sisinya? Dengan kata lain, efektivitas fungsi sebuah ibadah akan tetap dapat dipertahankan dalam lintasan zaman jika dibarengi dengan upaya transformasi. Bukan saja pada tataran pemaknaan (substansi), namun juga menyangkut sisi 'artifisialnya' itu sendiri. Apa yang salah dengan ibadah haji (yang kita lakukan)?
Entahlah, yang jelas, fungsi sebuah fabel adalah sebagai media pembelajaran (hikmah). Termasuk fabel Kucing yang Pergi ke Mekah. Agar seorang yang nantinya setelah pulang dari Mekah memanggul gelar 'haji' benar-benar memancarkan karakter seorang penziarah. Tapi, bagaimana seseorang dapat belajar dari binatang jika perilakunya tidak berbeda? Semoga kita bukanlah 'kucing-kucing' yang pergi ke haji. Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar